Setelah Arab Spring (revolusi musim semi Arab) meletus, nama Al-Ikhwan Al-Muslimun (IM) atau biasa disebut Ikhwanul Muslimin atau terkadang hanya disebut Ikhwan saja kian populer di dunia internasional, terutama setelah Presiden Mohammad Mursi, presiden pertama Mesir yang terpilih secara demokratis yang berasal dari IM digulingkan rezim militer Mesir.
Ikhwanul Muslimin yang didirikan di Ismailiyah (salah satu provinsi di Mesir) pada tahun 1928, mulanya adalah gerakan dakwah untuk membersihkan aqidah, mengajak ibadah dan menjauhi maksiat, dakwah secara personal dari kampung ke kampung, dari kafe ke kafe yang dimotori oleh Hasan Al-Banna, anak muda yang baru berusia 20 tahunan ketika itu.
Kemudian dakwah IM tak hanya berkutat seputar ibadah, IM juga sukses dalam kerja-kerja sosial dan proyek ekonomi, bahkan IM mampu mendirikan pabrik baja dan tembaga, terobosan gerakan dakwah yang ketika itu betul-betul baru di dunia Islam..
Perlahan dakwah Al-Banna muda memperoleh sambutan luar biasa, dimulai dari Ismailiyah lalu pindah ke Kairo, lebih dari 3000 cabang baru IM dibuka di seantero Mesir, bahkan merambah ke luar Mesir seperti Suriah, Lebanon, Yaman, Yordania, Irak dan negara lainnya.
Tak hanya berdakwah secara langsung, Al Banna pun menyurati para pemimpin Arab agar bersatu dan melaksanakan ajaran Islam, sampai tahap ini tak ada konflik berarti antara IM dan para penguasa Arab.
Perang Arab-Israel pada tahun 1948 merubah perjalanan IM, keikut sertaan ribuan anggota IM dalam perang yang dimenangkan oleh Israel itu memantik kekecewaan di kalangan IM, anggota Ikhwan Muslimin menganggap kekalahan Arab karena pengkhianatan para pemimpin Arab sendiri dan tak berhenti berkonfik sesama mereka.
Di sisi lain, para pemimpin Arab khususnya rezim raja Farouq menaruh kekhawatiran berlebihan melihat militansi ribuan anggota IM veteran perang Arab - Israel, dan perilaku IM yang dianggap mulai merecoki politik. Terutama, kritik IM yang keras kepada pemimpin-pemimpin Arab karena dianggap lemah tak berdaya menghadapi penjajahan Eropa terhadap negeri-negeri Islam.
Kekecewaan bangsa Arab terhadap pemimpinnya semakin melambungkan nama IM, ini yang justru menjadikan Perdana Menteri Mesir ketika itu Nuqrasyi Pasha meradang dan memutuskan membubarkan IM pada tahun 1948 serta menangkapi ribuan aktivis IM.
Puncaknya, 12 Februari 1949 Hasan Al Banna terbunuh, dibawah todongan senjata dan panser tak ada yang berani menyelamatkan Al Banna, bahkan ulama dengan jutaan pengikut yang ketika itu berusia 43 tahun, tak diizinkan oleh tentara bersenjata untuk diiringi jenazahnya. Ia hanya dikebumikan oleh ayahnya yang telah berusia 90 tahun dan anak lelakinya yang masih kecil serta beberapa wanita dari keluarga Al Banna sendiri.
Revolusi Mesir
Kepemimpinan IM diteruskan oleh Hasan Al Hudaibi. Pada tahun 1952, seorang tentara Mesir bernama Kolonel Gamal Abdul Nasser yang konon pernah berbaiat menjadi pengikut IM kepada Hasan Al Banna, mengajak Ikhwan untuk menggalang revolusi Mesir dan menggulingkan raja Farouq yang dianggap terlalu condong kepada Inggris.
Revolusi sukses, kerajaan Mesir bubar dan diganti menjadi negara republik dengan Gamal Abdul Nasser sebagai presidennya. Gerakan IM kembali dilegalkan, namun bulan madu antara IM dan militer Mesir tak berlangsung lama, pasalnya IM merasa tertipu dengan janji manis Militer yang akan mengakomodasi ideologi yang dianut IM ke dalam sistem negara, malah yang terjadi sebaliknya, IM diminta hanya mengurusi aktifitas keagamaan saja dan tidak boleh ikut campur dalam politik.
Hasan al-Hudaibi tentu saja menampik, bulan madu berakhir. Pada Januari 1954 kantor pusat Ikhwan dihancurkan dan dibakar, dan sebagian besar pemimpinnya ditangkap termasuk Hasan Al-Hudaibi. Ikhwan dinyatakan sebagai organisasi terlarang untuk kedua kalinya dan dicap sebagai organisasi kontra-revolusioner yang berbahaya bagi pemerintahan baru.
Sejak itu, penangkapan dan pembunuhan tokoh-tokoh IM terus berlangsung, yang paling mengejutkan dunia Islam ketika itu adalah digantungnya Sayyid Quthb, ulama karismatis anggota IM yang popularitasnya tak hanya di dunia Arab, namun hampir menjangkau seluruh dunia, termasuk di Indonesia hingga hari ini terjemahan atas karya-karyanya masih mudah ditemukan di toko-toko buku.
Atas semua kekejian itu, IM sama sekali tidak melakukan perlawanan. IM terus bergerak dibawah tanah secara ekstra rahasia, merekrut anggota dan menyebarkan ideologi. pengalaman pahit yang dialami terus menerus menjadikan IM organisasi bawah tanah paling rapi dan terbesar di dunia.
Pada era 80-an ketika Presiden Anwar Sadat mati terbunuh ditembak oleh anggota Jihad Islam, dan digantikan oleh Hosni Mubarak, penangkapan terhadap anggota IM kembali marak terjadi. Ini menyebabkan banyak anggota IM yang menghindari penangkapan memilih tinggal di luar negeri, seperti Syaikh Yusuf Qaradhawi yang memilih menetap di Qatar, dan anggota yang lain menyebar hampir di seluruh negara Arab, sebagian kecil lari ke Eropa, ini menjadi berkah tersendiri karena mengokohkan jaringan IM di kancah internasional. Konon, kini cabang IM telah berada di lebih seratus negara di dunia, dengan tetap mempertahankan ciri khas gerakannya: bawah tanah dan ekstra rahasia.
Di dalam negeri Mesir, secara perlahan anggota IM satu persatu menguasai organisasi profesi, seperti organisasi mahasiswa, buruh, dokter, pengacara dan lain-lain.
Arab Spring
Revolusi dunia Arab yang menjatuhkan para tiran yang telah lama berkuasa tak bisa dilepaskan dari campur tangan IM, walaupun bergerak dibawah tanah dan ekstra rahasia. Suka atau tidak IM telah hadir di hampir semua lini kehidupan bangsa Arab. Jaringan yang kuat, disiplin anggota yang tinggi karena telah teruji berbagai peristiwa, dan semangat berkorban yang tinggi menjadikan IM motor revolusi arab yang paling besar dan akhirnya menjadikannya pemenang pemilu demokratis di negara-negara Arab yang dilanda Arab Springs itu.
Al-Ikhwan dan Demokrasi
Diantara harakah (gerakan) Islam yang ada, IM dianggap sebagai harakah yang paling moderat, karena IM mau menerima demokrasi yang dianggap oleh harakah-harakah lain sebagai sistem kufur.
IM dalam setiap gerakannya menolak kekerasan, terbukti ketika demonstrasi di lapangan Rabia Al-Adawiyah dibubarkan oleh militer yang menewaskan sekitar 2600 demonstran, tetap menyerukan gerakan damai meskipun sebagian besar yang tewas adalah anggota Ikhwan.
Peristiwa ini memicu kemarahan dunia Islam, tak sedikit kelompok-kelompok jihad yang mendesak IM untuk mengangkat senjata seperti kelompok Jihad Islam dan Al-Qaeda. kelompok-kelompok itu bersedia untuk memberikan loyalitasnya kepada IM asal IM mau mengangkat senjata. Tapi IM tetap tak bergeming, bertahan diatas jalan damai. Walaupun hingga kini korban-korban terus berguguran.
Pemerintah rezim militer Mesir kini (2013) kembali membubarkan IM, menangkapi lebih dari seribu pemimpinnya, membekukan aset-asetnya. Para pengamat memprediksi, pembubaran ini hanyalah langkah sia-sia. Rezim militer hanya mengulang kekeliruan rezim sebelumnya yang telah terbukti gagal membunuh gerakan Ikhwanul Muslimin.
Walaupun IM terus menerus berkampanye anti kekerasan dan menempuh cara-cara damai melalui demokrasi, Amerika dan Barat serta sekutu mereka kaum liberal tak ada yang percaya, setiap gerakan damai pasti dituding mempunyai hidden agenda penerapan syariat Islam dan penegakkan khilafah.
Meskipun tak relevan, tudingan ini bukan tanpa dasar, pada masa perang Afghanistan melawan Uni Sovyet, Ikhwanul Muslimin melalui tokohnya Syaikh Abdullah Azzam dan muridnya Osama bin Ladin gencar mengkampanyekan jihad global, sehingga para pemuda dari seluruh penjuru dunia (BIN melansir, di Indonesia terlacak sekitar lebih dari 200 orang alumni perang Afghanistan) berdatangan ke Afghanistan untuk berjihad yang akhirnya mampu mempermalukan Sovyet raksasa militer dunia ketika itu.
Demikian pula dengan HAMAS (Harakah Muqawwamah al-Islamiyah/gerakan perlawanan Islam) di Palestina, didirikan oleh para anggota IM, seperti Syaikh Ahmad Yasin, Syaikh Rantisi, dan lain - lain.
Meski di Mesir dan di negara-negara yang tidak mengalami konflik bersenjata, tidak terdapat satupun data valid yang menyebutkan Ikhwan atau gerakan yang berafiliasi dengannya melakukan tindakan kekerasan
Di Negeri-negeri yang damai, Ikhwanul Muslimin dan gerakan yang menjadikan Ikhwan sebagai rujukan lebih menyukai bertarung merebut kekuasaan melalui jalur demokrasi, seperti Partai An-Nahda di Tunisia, Partai PKP di Mesir, Partai AKP di Turki, Partai Ishlah di Yaman dan PKS di Indonesia.

0 komentar:
Post a Comment